Sembahyang Perebutan, Wujud Bakti Pada Nenek Moyang

Kakek dan Nenekku, yang biasanya kupanggil Opa (Kakek) dan Oma (Nenek), termasuk dari segelintir orang yang masih meneruskan tradisi-tradisi tionghoa yang diturunkan ke anak cucu sejak ratusan tahun lalu.  Sebagai cucunya, wangi-wangian dupa, makanan tradisional, dan uang-uangan sembahyang adalah benda-benda yang sangat familiar. 

Hari minggu, 22 Agustus 2021 yang lalu adalah saatnya sembahyang perebutan. Sembahyang perebutan diadakan untuk menghormati nenek moyang yang sedang mengunjungi dunia dengan menjamu mereka. Tapi di sembahyang kali ini ada yang spesial, kalau biasanya sembahyang dijalankan oleh Opa, sekarang adalah giliranku belajar menjalankannya. Karena sangat tertarik dengan budaya tionghoa, aku dengan senang hati mempelajarinya.

Ritual sembahyang dilaksanakan di rumah Oma dan dimulai dengan pembukaan sembahyang yang pertama, yaitu meminta persetujuan kepada Tuhan agar diizinkan mengundang nenek moyang di perjamuan yang akan diadakan. Keesokan paginya seisi rumah dipenuhi kesibukan menyiapkan makanan dan minuman perjamuan di meja makan. Ketika semua sudah siap, sembahyang dilanjutkan oleh pembukaan sembahyang kedua yang dilakukan dengan tujuan yang sama dengan pembukaan pertama. Selepas meminta izin terlebih dahulu kepada Yang Maha Kuasa, tibalah saatnya untuk mengundang para pendahulu ke perjamuan. Seusai mengundang para leluhur, satu persatu anggota keluarga mendoakan hal-hal yang baik untuk mereka. Aku tidak tahu seperti apa raut wajah nenek moyang kami di atas sana, namun sepertinya mereka tersenyum bahagia seraya makan dengan lahap. 


Atas: Foto yang diambil saat sembahyang imlek 12 Februari 2021


Ternyata bukan cuma makanan yang terlahap, yong swa-yong swa juga dilahap oleh bara api. Yong swa yang tinggal tersisa separuh menandakan bahwa sudah saatnya mengisi ulang arak dan teh di cangkir, sementara yong swa yang hampir habis berarti sio pwe sudah harus dilakukan. Sio pwe adalah salah satu bagian unik dari tradisi kami. Sio pwe yaitu melempar 2 buah koin atau poa pwe ke lantai. Jika yang tampak 2 sisi yang berlainan berarti tamu-tamu kami sudah selesai makan, kalau yang tampak sebaliknya berarti kita harus menunggu. Lucunya terkadang koin yang dilempar selalu sama sisinya dan membutuhkan percobaan berkali-kali untuk menyudahi sembahyang, Oma mempunyai kebiasaan unik untuk mengatasinya. Setiap sembahyang Oma tidak pernah absen memilih koin sebagai benda untuk disio pwe karena peluang berhasilnya lebih besar. Oma juga bisa membuat koin yang dilemparnya selalu berbeda sisi. Tapi untuk sembahyang kali ini aku mencoba menggunakan poa pwe, benda yang lebih tradisional. Dan yang mengejutkan, dengan sekali lempar hasilnya langsung sio pwe. 

Segera setelah disio pwe, seluruh jenis makanan di meja makan diambil secuil-secuil dan ditaruh ke sebuah mangkuk. Di mangkuk tersebut juga dituang segala minuman yang ada di meja makan. Selanjutnya semua orang menuju ke luar rumah, di sana api dinyalakan di sebuah belanga. Kami pun mulai membakar uang-uangan dan makanan serta minuman dalam mangkuk. Dengan membakarnya, kami percaya bahwa semua benda tersebut akan sampai di surga dan memberi kebaikan bagi para pendahulu. Sesudahnya, sembahyang ditutup dengan menikmati segala makanan yang tersedia di meja, semua makanan itu amat lezat. 

Sembahyang yang indah... Sembahyang harus selalu lestari, tak peduli soal berlalunya waktu. Aku bertekad bahwa kelak saat dewasa, aku akan menjadi penerus tradisi sembahyang berikutnya. Pasti!



Popular Posts