Antara Aku dan Persimpangan Jalan
Pejamkan mata bila
Ku ingin bernafas lega
Dalam anganku, aku berada
Di satu persimpangan
Jalan yang sulit kupilih
Bagaimana,
langsung terkenang masa-masa indah awal 2000 an? Teringat kebimbangan yang
dialami Cinta di tengah perjalanan kasihnya dengan Rangga? Atau, justru disadarkan
kembali akan kedua opsi yang masih menunggu untuk segera diputuskan?
Memilih
itu memang suatu hal yang berat. Opsi yang sederhana saja, seperti mau makan
apa hari ini, sudah bisa membuat kita terdiam selama beberapa waktu untuk
berpikir. Saat-saat sulit dalam hidup, seringkali datang ketika kita harus
memilih. Terkadang memikirkan sebuah keputusan itu terasa bagai beban yang
begitu berat. Kita takut. Takut kalau nanti salah mengambil keputusan. Takut
kalau keputusan yang kita ambil bakal memengaruhi hidup kita selamanya. Takut
kalau sekali salah melangkah tak ada lagi jalan untuk kembali.
Situasi
yang paling menyulitkan adalah, ketika kita terpaksa memilih satu di antara dua
pilihan yang berseberangan. Katakanlah ada dua opsi, A dan B. Opsi A punya
berbagai macam kelebihan, tapi tentu saja dia juga punya kekurangan. Sementara
itu, di opsi B kondisinya menjadi terbalik. Kekurangan opsi A justru menjadi
nilai plusnya, sedangkan keunggulan opsi A adalah kelemahan baginya. Alangkah
baiknya jika kita bisa memilih keduanya!
Keadaan
ini menjadikan kita ragu dan takut melanjutkan perjalanan. Manakah yang lebih
baik? Kita tak kunjung mengerti, walau pikiran terus mencoba mengkalkulasi
nilai plus dan minus dari keduanya. Mencoba menemukan mana yang lebih banyak
membawa keberuntungan dan sedikit kemalangan. Biarpun mulai condong ke satu
opsi, pikiran kita masih saja bertanya-tanya. Inikah yang sebenarnya aku
inginkan?
Di
saat-saat itu kita merenung. Mencoba merasa dan mendengar kata dari hati kita
yang terdalam. Hati kita bilang apa ya? Kita merenung, merenung, dan
merenung…Lama-lama segala yang kabur itu mulai terasa jelas, kita mulai tahu
apa mau kita. Berkali-kali mempertajam intuisi, jawaban yang keluar selalu
sama. Wah, ternyata galau dalam diri kita cepat juga perginya. Sudah pasti kita
mau menuju ke opsi A! Rasanya bibir ini mulai bisa tersenyum…
Tapi,
belum juga sempat tidur nyenyak, ternyata fakta berkata lain. Mendadak sederet
manusia dan peristiwa menyadarkan kita bahwa intuisi kita cacat. Bukan, bukan
opsi A yang seharusnya kita ambil! Tapi juga bukan B! Kita yang sudah terlanjur
jatuh cinta pada opsi A, menjadi kecewa. Namun juga tak sudi mengambil opsi B,
karena telah sejak awal meragukannya. Ahh, kenapa tidak ada satu pun hal yang
ideal di dunia ini! Semua hal punya berjuta kelebihan, tapi sayangnya juga
berjuta cacat.
Lagi-lagi
kita dibawa kepada keraguan. Keputusan harus ditunda, dan segala sesuatunya
perlu dipikirkan ulang masak-masak dari awal. Kenapa sekarang posisinya menjadi
terbalik? Kemarin kita bingung, mana yang lebih baik. Sekarang kita
bertanya-tanya, mana yang lebih sedikit mengecewakan kita.
Di
titik ini kita putus asa. Sampai akhirnya opsi C muncul, memberi harapan baru. Kemungkinan
ketiga yang tak pernah sekalipun dilirik sebelumnya. Jadi, akankah ini menjadi
akhir kisah kita yang panjang? Hati kita mendadak yakin, takdir berkata kita harus
melangkah ke C. Akhirnya, ini saatnya untuk hibernasi melepas lelah
berkepanjangan! Langsung angkat kaki, masuk ke liang gua.
Tapi
nyatanya, belum juga duduk, sudah ditarik keluar gua lagi. Ketika kabut telah
menipis dan jalan semakin terlihat jelas, opsi A dan B seolah menolak untuk
dilupakan. Mereka memborbadir pikiran dengan beribu kemungkinan menjanjikan.
Mengingatkan kita pada apa saja yang akan hilang jika meninggalkan mereka.
Sementara
itu, benak bersahut. Oh ayolah, tubuh ini sudah lelah. Terserah apa kata dunia,
aku tak peduli. Kemarin aku sudah mantap, kenapa sekarang alam memaksaku
membangun keyakinanku kembali dari titik nol? Jangan berondong aku dengan
sederet masalah baru, biarkan aku beristirahat dalam mimpi. Biarkan aku
bersenang-senang seperti layaknya manusia.
Segalanya
sudah dilakukan. Entah itu bertanya kepada para senior atau seorang ahli,
sampai survey besar-besaran. Namun, seiring dengan banyaknya fakta dan opini
yang berdatangan, pikiran menjadi semakin bingung. Hari-hari pun berlalu dengan
bimbang yang belum juga mereda. Jadwal mulai terserak tak beraturan, segala
agenda dan target mesti ditunda. Pikiran bekerja di setiap detiknya, tak ada
sedikit pun jeda istirahat. Kita mau segala hal menjadi jelas, dan sepertinya satu-satunya
solusi hanya dengan terus menimbang-nimbang.
Orang
lain bilang, kita harus berani salah. Tapi kata pikiran, salah itu berbahaya,
salah menjatuhkan, dan salah membuat kita gagal. Kita tak pernah boleh salah,
jadi segalanya harus dipikirkan secara terperinci! Anggaplah kalau salah kita
akan mati!
Namun,
pikiran juga bisa lelah, tubuh juga punya ambang batasnya. Di suatu malam air
mata melesak keluar, mengalir membasahi pipi. Melepas semua emosi yang telah
lama tertahan, hingga akhirnya muncul lega.
Pagi
harinya saat terbangun, cuaca cerah. Seperti benak kita yang mendadak damai.
Mengapa ya, hati ini seketika berubah menjadi pasrah? Mengapa nafasku menjadi
tenang, tidak lagi memburu? Ada apa dengan air mata semalam? Apakah dia telah
mengobati luka?
Entah
kenapa aku mulai bisa berpikir jernih. Entah kenapa sekarang aku tahu arah mana
yang terbaik bagiku. Aku tahu ke mana aku seharusnya melangkah. Rasanya aku
menjadi berani menghadapi setiap masalah yang mungkin menghadangku di tengah
perjalanan.
Kemarin
aku sangat tegang dan emosional, aku tak mampu menggunakan akal sehatku. Tapi
sekarang aku berada dalam keheningan damai. Apa pun keputusanku, aku akan
belajar darinya. Mungkin keputusan yang salah mengharuskan kita membayar lebih
banyak, tapi Tuhan akan membimbing kembali setiap dari kita yang berkemauan. Di
tengah ketenangan, kuikuti intuisi dan mengambil keputusan terbaik. Kuangkat
kakiku, dan aku berjalan tanpa rasa sesal.