Nyanyian Di Tengah Hujan
Hujan deras mengguyur kota sejak pagi. Ruangan itu lembap dan remang-remang, satu-satunya cahaya berasal dari kerdip lilin di meja. Hanya ada satu orang di sana, wanita di usia empat kepala yang sedang sendirian. Kesepian, bosan, dan sedikit jengkel. Dia duduk gelisah, tanpa sadar kakinya yang mulai menggemuk belakangan ini berayun-ayun perlahan. Duk! Benda apa yang dihantamnya? Dilongokkannya kepalanya ke bawah kolong, guna memuaskan rasa penasarannya akan benda tak beruntung itu. Astaga, radio tua Ibu! Wanita itu lantas bergerak menuju lemari berdebu di sudut ruangan, membuka-tutup lacinya dan mengeluarkan kaset-kaset kuno miliknya. Masih bagus, tapi terabaikan. Mudah-mudahan kaset dan radio tua ini masih bekerja. Dipandanginya kaset yang mulai berputar-putar.
“Pada
hari minggu ku turut ayah ke kota…”
Wanita itu
merasa tubuhnya merosot semakin jauh ke bawah meja. Sekelebat bayangan samar rumah
bergaya jengki melintas, diikuti sensasi singkat memeluk boneka anjing. Dipejamkannya
matanya, apa-apaan ini? “Eriiinn! Wah, payah nih tidur terus. Hawanya dingin
ya? Buat kamu mengantuk ya?” Astaga, itu Ayah! Masih muda, kekar, dan tampan.
Lengannya yang kuat mendekap anak bungsunya di atas dokar yang sedang berjalan.
Ah Ayah…Lagi-lagi aku merindukanmu…
“Lihat
sekelilingmu Rin, duduk sana di samping Pak Kusir yang sedang bekerja. Biar
kamu bisa nyanyi lagunya Pak Kasur!” Suara yang satu itu milik Mas Dion, baru
beralih menjadi seberat orang dewasa. Mas, mampir sini, kangen aku. Ya ampun,
deretan sawah itu! Yang itu punya Pak Botak, luas sekali. Di samping kanan ada pabrik
gula yang katanya sudah berdiri sejak jaman belanda, dan jauh di sana tempatnya
bermain layangan di sore berangin!
Kursi di
depan dokar lama-lama makin empuk, dan rasanya gerobak kuda berhenti
berguncang-guncang. Dia telah kembali ke rumah jengki itu. Didengarnya suara di
kejauhan,“Eeeriiinnn, main yuk!” Rasanya tidak asing. Kemudian sebuah angin
kencang bertiup dari segala penjuru. Meja, sofa, vas kesayangan Ibu, tv tipe
slorokan 1970, termasuk dirinya, berterbangan di angkasa. Bruk! Di mana ini?
Sepertinya pekarangan rumah Yolan. Wah itu mereka, aku ingat semuanya. Yolan, Rio, Yos, Wiwin,
Eko, dan Lanny. Pemandangan bola bekel di udara, gelinding kelereng, pencarian
dan persembunyian, lompatan demi lompatan di atas petak bergaris kapur, layar GameWatch
yang menari-nari, semua muncul dalam pemandangan kabur. Tapi ia bahagia, dan
wajahnya tersenyum.
Hujan masih
belum reda. Wanita itu kembali menyadari kesendiriannya. Bagaikan gadis korek
api dalam kisah Anderson, ia tergesa-gesa memutar kaset lain yang tertumpuk
rapi di tempatnya. Tidak mau menyia-nyiakan keajaiban besar yang sedang
terjadi. “Jenuh aku mendengar manisnya kata cinta, lebih baik sendiri…”
Dua sosok remaja
samar-samar nampak, lambat laun makin jelas eksistensinya. Wanita itu yakin,
ruangan ini kini berisi tiga orang. Dua di antara mereka entah dari mana. Oh
Tuhan, Wiwin dan Meri! Bagaimana kalian bisa di sini? Mengapa kalian begitu
kecil? Kalian tahu betapa rindunya aku? Dan dengar, radio itu berbicara
sendiri. “Saya Nusa, alamat Toko Banyuseger Jl. Mangga No 22.” “Baik Mas Nusa, boleh mulai sekarang Mas.”
Wiwin dan Meri berseru antusias,“eh, dengerin, dengerin lo! Badak mau nyanyi!”
Wanita itu merasakan tangannya diseret oleh kedua orang kawannya. Sang radio
menyanyi parau, semakin lama semakin menyiksa, hingga pada akhirnya jeritannya
lebih mengerikan dari letusan Krakatau. Tawa ketiga gadis meledak seketika
memenuhi ruangan. “Oh sudahlah lebih baik kita bertiga menggantikannya,
barangkali hadiah lomba nyanyi radio itu bisa untuk kita!” seru Meri. “Malam-malam
aku sendiri! Tanpa cintamu lagi! Ho-wo-oh-oh!”
Plak! Seekor
burung menabrak wajahnya. Wanita itu berteriak, mengomel sedikit sambil
mengusap-usap mukanya dengan tangan. “Terlalu manis untuk dilupakan…” Dia
mendongakkan kepalanya dengan tergesa-gesa. Oh tidak, ia berada di tengah
lautan manusia, apakah ada yang melihat peristiwa konyol barusan? Ini sekolah
lamanya, penuh manusia berseragam putih abu yang bersuit ria. “Perpisahan,”
ucapnya perlahan. Ditatapnya band yang sedang bermain dengan seru. Benar saja,
di dalamnya ada si dia, lelaki kelas 2 Sosial bangku baris terakhir deret
kelima. Mengangguk-anggukan kepala mengikuti ritme, menerbangkan rambut ikalnya
yang gondrong. Ditatapnya pria itu dengan penuh kenangan, hingga kepulan debu
mengaburkan pandangannya.
Radio itu
masih bernyanyi. “Aku sedang rindu pada malamku bersamamu…”Tok! Tok!
Tok! Ada seseorang di balik pintu. Siapa kiranya dia? Wanita itu berjalan
menghampiri pintu. Aneh, mengapa langkahnya terasa begitu ringan? Ah, biarkan
saja. “Halo, Erin.” Yang muncul dihadapannya ini Langit. Ia pun menatap dirinya.
Astaga masa-masa bahagia itu, dia telah kembali ke sana! Lelaki itu menggamit
lengannya, hangat genggamannya terasa nyata. Deru mesin mobil terdengar, dan
kini rumah jengki itu seorang diri.
Sepanjang
malam mereka duduk berdampingan dalam temaram gedung bioskop, memandangi kisah
cinta Rangga dan Cinta yang juga sedang mereka rajut kala itu. Langit dengan
kedewasaan, ketangguhan, kerja keras, dan ketampanannya, telah merebut hatinya.
Dia tahu betul perasaan yang dialaminya saat itu bukan lagi cinta monyet.
Akhirnya
putaran radio itu berhenti, waktunya untuk mengganti kaset di dalamnya. Tok!
Tok! Tok! Lagi-lagi suara di pintu. Wanita itu mencuri pandang sekilas pada
tubuhnya. Dia telah tiba di saat ini, dalam detik kehidupan yang terus berjalan
maju. “Selamat ulang tahun kami ucapkan…” Langit dan putri mereka, Vera,
menghambur dan mendekapnya. Wanita itu tersenyum. Waktu yang sedang terjadi itu
bernama Saat Ini, waktu paling berharga dalam kehidupan.