Manusia dan Seni
Hari sudah gelap dan sunyi. Kukayuh sepedaku memasuki Gang Sadewa yang muncul setelah pertigaan. Semakin jauh memasukinya, sayup-sayup terdengar suara ramai, yang agaknya berasal dari benda-benda yang saling berbenturan. Suara benturan itu cukup aneh, tersusun dalam sebuah ketukan teratur, seolah sedang mencoba berbicara menggunakan bahasa antar kaum benda mati. Klak, klak, klak! Kuontel sepedaku menembus sejuknya malam, suara itu kian terasa jelas.
Kemudian sepedaku
berbelok ke kanan, dan bertemulah aku dengan pendopo kokoh yang menaungi
sejumlah penabuh gejog lesung. Masing-masing menggenggam alu di tangan, dan
dengan penuh semangat memukul-mukulkannya ke dalam lesung. Sementara itu, dua
orang di antaranya berdiri dan menyanyikan tembang berbahasa Jawa dengan suara
Melayu yang khas. Tak lama kemudian kaum ibu itu berhenti menabuh, melepas
lelah di atas tikar pandan sambil menyeruput teh dan makan kue suguhan sang
tuan rumah. Duduk, bercengkerama, tersenyum, dan tertawa sebelum alu kembali
dipukul-pukulkan.
Suasana
hangat itu bahkan mengundang seekor anjing untuk datang menikmati alunan
gamelan. Beberapa hari sebelumnya, di tempat yang tepat sama, si anjing
bergabung dalam keasyikan malam yang menyelimuti pendopo. Berjalan, lalu di
suatu titik berhenti dan diam, seolah tersenyum di tengah aliran melodi yang
indah.
Keunikan ini
bukan hal asing di Sanggar Budaya Nitibudoyo, yang terletak di Kampung Seni
Nitiprayan, Jomegatan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul. Tempat di mana banyak seniman
tinggal dan menetaskan karya-karyanya. Di Nitiprayan, kesenian telah menjadi
bagian hidup masyarakat sejak jaman dahulu. “Saya dari kelas 5 sudah ikut
wayang orang,” ujar Bu Sutini, salah satu perintis sanggar.
Bukan
sekedar hidup, kesenian yang berkembang juga sangat beraneka ragam. Mulai dari seni
tari, karawitan, terbangklung (perpaduan antara angklung dan alat musik pukul
bernama terbang), dan gejog lesung. Hingga, sandiwara wayang orang dengan kisah
Ramayana dan Mahabarata, pertunjukan ketoprak berlatar sejarah Majapahit dan
cerita Jawa Timur, serta dagelan sebagai sandiwara komedi tradisional. Tak
heran jika daerah ini melahirkan banyak seniman yang ambil bagian dalam acara
siaran Radio Republik Indonesia (RRI).
Menyaksikan kentalnya
kebudayaan Nitiprayan, beberapa warga setempat bahu membahu mewujudkan sanggar,
yang diharapkan mampu menjadi wadah bagi kesenian lokal yang terorganisir.
Kerja keras itu terwujud pada tahun 1995, di mana sanggar berdiri untuk pertama
kalinya. Diambil dari nama Niti (singkatan dari Nitiprayan) yang digabung
dengan kata budoyo (budaya), terciptalah Nitibudoyo sebagai nama sanggar budaya
tersebut.
Menurut Bu
Sumidah, dukuh Jomegatan, pada masa awal terbentuknya, Nitibudoyo masih merupakan
satu-satunya sanggar seni di daerah tersebut. Baru setelahnya, bermunculan
sanggar-sanggar seni lainnya seperti Udan Sore, Raras, Kenyo Cengkir, Langit,
dan Rewe Rewe. Yang mana, sekarang telah seluruhnya berjumlah tujuh. Namun
hingga saat ini, Nitibudoyo masih menjadi sanggar yang terbesar dan terlengkap.
Sebab, sanggar seni di sekelilingnya belum merambah ke seni lain selain tari.
Saat ini Sanggar
Budaya Nitibudoyo diketuai oleh Bu Sutini. Beliau mengepalai kegiatan seni
terbangklung, gejog lesung, tari, dan karawitan. Sementara itu, wayang orang
dan ketoprak dikepalai oleh Mas Wiwit. Sanggar ini berhasil mengundang remaja
putri, bapak-bapak, dan juga ibu-ibu setempat untuk berpartisipasi. Salah
satunya Pak Sabar, yang mengikuti hampir seluruh kegiatan sanggar tersebut. Pak
Sabar menyampaikan bahwa banyak di antara keluarganya yang berkecimpung dalam
dunia seni. Sejak muda, beliau telah menyukai kesenian lokal. Menurut Pak
Sabar, setiap kali mendengar suara musik gamelan hatinya menjadi bahagia.
“Sanggar ini
merukunkan warga sekitarnya to, Mbak. Walau kepercayaannya beda-beda, tetep
saling membaur,” ungkap pria pecinta seni ini. Tak berhenti di situ, Pak Sabar juga
mengungkapkan rasa senangnya bertemu dengan teman-temannya melalui latihan
sanggar. Sementara itu, di lain kesempatan, Bu Sumidah turut memberi pendapat. “Keuntungannya,
ya kalau seneng nari, ya jadi udah ada tempatnya,” ucap beliau, yang beranggapan
bahwa sanggar memberi ruang bagi masyarakat penyuka kesenian lokal.
Di samping
apa yang diutarakan Pak Sabar dan Bu Sumidah, terlihat bahwa sanggar telah
memberi warna pada kehidupan warganya. Penduduk yang sudah sepuh masih
bisa memperoleh aktivitas ringan yang menarik
di lingkungannya, dan kaum mudanya juga dapat berekreasi sejenak usai sekolah
atau bekerja, dengan kegiatan yang bermanfaat.
Meskipun
demikian, Mbak Hanik, pengurus Sanggar Budaya Nitibudoyo, tidak memungkiri bahwa
sanggar tersebut masih memiliki titik yang perlu dibenahi. Hal ini terkait
dengan jadwal latihan sanggar, yang belum dilakukan secara rutin dan hanya
berlangsung jika ada permintaan dari luar.
Oleh karena
itu, Agustus tahun ini menjadi salah satu momen yang tepat untuk mengunjungi
Nitibudoyo. Di bulan bersejarah ini, Nitibudoyo tampil di berbagai acara perayaan
hari kemerdekaan RI. Di antaranya pada Pentas Peringatan 17 Agustus (malam
tirakatan), Peringatan Suro, Peringatan 1 Dasawarsa UU Keistimewaan DIY, dan
ditutup di awal September dalam acara Dialog Publik.
Bagi Bu
Sutini, tujuan keberadaan sanggar ini bukan untuk mencari keuntungan, melainkan
untuk terus melestarikan kesenian Nitiprayan. Di jaman dulu, banyak penduduk
lokal yang menguasai alat musik tradisional, sayangnya di masa itu belum
berdiri sanggar yang dapat mempertemukan mereka. Oleh karenanya, sanggar ini
telah menyatukan para pecinta seni, juga memberi kesempatan bagi masyarakat
awam untuk mengenal budayanya sendiri.
Selama
berjalannya sanggar, Bu Sutini mengaku lebih sering mengeluarkan uang ketimbang
memperoleh keuntungan. Akan tetapi, beliau sama sekali tidak merasa keberatan untuk
melakukan sesuatu demi kelestarian seni lokal.
Tak hanya
bergiat di dalam sanggarnya, Bu Sutini juga mengabdi kepada Keraton Yogyakarta,
yang saat ini berada di bawah kepemimpinan Sri Sultan Hamengkubuwana X. Sebagai
seorang abdi dalem, beliau banyak berkecimpung dalam bagian kesenian keraton
dan bekerja setiap kali sultan membutuhkannya.
Sekilas
cerita tentang keraton, meski selalu dibanjiri calon pengabdi dari berbagai
kabupaten, tak pernah sembarang memilih abdi dalem. Keraton akan memastikan
bahwa calon-calonnya memiliki kemampuan mumpuni di bidangnya, memikul tanggung
jawab, santun dalam bersikap, dan rajin bekerja. Serta, jika mengabdi di bagian
kesenian, menguasai tari dan karawitan, serta fasih berbahasa Jawa menjadi
sebagian prasyarat. Bahkan, jauh sebelum abdi-abdi dalem itu bekerja, mereka
dibekali pendidikan budaya secara langsung oleh keraton. Hingga masa kini,
Keraton Yogyakarta masih mempertahankan dengan detail pakem tradisi yang
dimilikinya sejak jaman dahulu.
Tempat yang
menjadi akar budaya Yogyakarta tersebut terbilang sangat plural. Tak sangka,
dibalik gelar Hamengkubuwana sang sultan, terdapat makna yang begitu mendalam.
“’Hamengku’ artinya mengayomi, ‘buwana’ artinya dunia. Jadi mengayomi dunia,” tutur
Bu Sutini. Oleh karena itu, keraton tidak pernah mempersoalkan suku, ras,
maupun agama. “Banyak teman saya yang katolik, pangkatnya tinggi,” ungkap
beliau.
Sebagai
ketua sanggar budaya dan abdi dalem Keraton Yogyakarta, Bu Sutini sangat
memperhatikan budaya dan seni di sekitarnya. Di sela-sela obrolan, beliau
sempat menyampaikan rasa prihatinnya akan pengaruh budaya luar yang perlahan
mengikis kebudayaan Indonesia.
Keprihatinan
Bu Sutini memang beralasan. Semakin ke depan, semakin banyak budaya asing dari
berbagai belahan dunia yang memasuki Indonesia. Dan jika diamati lebih dalam,
manusia memiliki beberapa kecenderungan yang mempermudah masuknya budaya asing.
Mereka selalu bersemangat terhadap munculnya perubahan. Saat menemukan hal baru,
mereka mudah menyerap dengan cepat apa yang mereka temukan tanpa berpikir. Seiring
bertambahnya kemajuan jaman, proses ini terjadi semakin cepat dan serempak.
Sebenarnya
manusia tidak sedemikian kompak, ada juga manusia tipe kedua. Mereka kelompok
yang tidak menyukai perubahan yang berlangsung. Namun keberadaannya jarang
terlihat, karena mayoritas dari mereka pada akhirnya memilih untuk mengambil
jalan mudah, dengan mengikuti ke mana arus mengalir.
Setelah
semua ini terjadi, masyarakat mulai mengubah cara berpakaian, cara bicara,
makanan, dan aktivitas keseharian mereka. Dengan pola ini, identitas Yogyakarta
dan identitas tempat-tempat di seluruh dunia yang sesungguhnya, terancam
terlupakan oleh waktu.
“Budaya itu
menyesuaikan alamnya,” tutur Bu Sutini. Saat ini, apabila kita melihat
Indonesia dengan seksama, kita punya banyak peninggalan bersejarah dari nenek
moyang yang mengatakan hal serupa. Sesungguhnya Candi Borobudur berdiri karena
Merapi memuntahkan laharnya, rumah panggung muncul karena ancaman hewan buas yang
mengintai dari dalam hutan, mantel dikenakan karena hawa di luar dingin menggigit.
Itu alam, yang mengajarkan orang pesisir agar bicara lebih keras untuk
mengalahkan suara ombak, dan mengajarkan orang Papua makan sagu alih-alih
beras. Semua tergantung alamnya.
Budaya.
Seni. Bayangkan betapa banyak orang yang membicarakannya! Manusia, berkata
dengan tegas tentang keberadaannya yang tidak boleh terlepas dari kehidupan. Seolah
keduanya hal yang begitu berharga dalam hidup seorang manusia. Mungkin tanpa
sadar diri ini juga sering mengucap, “kita harus melestarikan seni dan budaya
untuk menjaga warisan leluhur!” Namun diam-diam bertanya-tanya, apa sebabnya
kata-kata itu terlontar begitu saja? Mengapa diri ini merasa harus
mengucapkannya? Mengapa seni dan budaya harus tetap ada di antara kita?
Memangnya apa yang terjadi kalau kita meninggalkannya?
Seperti
yang tertulis dalam laman Merdeka (Rakha Fahreza Widyananda, 2021), “Kata
budaya sendiri merupakan suatu bahasa yang berasal dari bahasa Sansekerta yaitu
‘budhayah’ yang
merupakan sebuah bentuk jamak dari buddhi yang miliki arti budi atau akal.”
Setiap
manusia memiliki cara pandangnya masing-masing terhadap budaya, sama halnya
dengan Bu Wahya, pegiat pendidikan di Nitiprayan. Saat ditanya pendapatnya
mengenai pentingnya budaya dalam masyarakat, beliau berkata,“Ya karena semua
orang itu membutuhkan keindahan, dan keindahan itu menjadi daya semangat bagi
setiap orang. Nah, itu memang harus dilestarikan, harus dijaga. Supaya,
kualitas hidup manusia itu makin meningkat, makin baik. Jadi budaya itu harus
memuliakan manusia.”
Bu Wahya
kemudian melanjutkan dengan menegaskan bahwa meski budaya itu sesuatu yang
harus dilestarikan, tetapi manusia harus tetap memilah budaya mereka sendiri.
Budaya yang tidak sehat di tengah masyarakat, tidak perlu dilestarikan. Sementara
itu, pandangan Bu Wahya tentang budaya yang baik, adalah budaya yang bisa
memuliakan hidup manusia dan semesta.
Menurut beliau,
budaya adalah hal yang paling dekat dengan manusia. Budaya sebagai tempat
manusia mengaktualisasikan dirinya, memberi semangat, dan menjadi berdaya. Manusia
tidak hanya hidup dengan pikiran, tapi juga dengan rasa dan hati. Karena itu, ia
mengambil kesimpulan bahwa ekspresi adalah kebutuhan mendasar bagi manusia.
Contohnya pada waktu seorang bayi lahir, secara reflek tangan, kaki, dan
kepalanya akan bergerak. Gerakan-gerakan ini selain memperlihatkan ekspresi, juga
menunjukkan eksistensi si bayi, bahwa dia ada dan hidup di dunia ini.
“Nah, sejauh
mana orang bisa mengelola, mengolah seni itu, ya dari bagaimana mengoptimalkan
panca indra. Bahwa orang bisa mendengar dan membedakan bermacam-macam suara.
Ada suara yang lembut, ada yang keras, ada yang berisik, ada yang enggak. Nah,
ini kan bisa dirasakan. Kemudian, orang bisa memilah-milah, akhirnya mana yang
nanti bisa mempengaruhi perasaannya. Dan, dari bunyi itu pun nanti bisa diekspresikan
menjadi gerakan, menjadi imajinasi gerak,” kata Bu Wahya, yang dilanjutkan
dengan mengungkapkan pentingnya manusia mengasah panca indranya sejak
kanak-kanak. Mulai dari melihat, mendengar, meraba, dan merasa. Setelah organ
dan perasaan kita terlatih, barulah kita bisa menuangkannya dalam tulisan,
puisi, gerakan, lukisan, dan segala macam bentuk seni.
Banyak orang
suka mencari kesenangan di waktu luang. Ini hal yang sangat natural, mengingat
manusia memang tidak bisa hidup hanya dengan melakukan kewajiban dan tanggung
jawabnya. Mereka selalu butuh kesibukan yang ceria, di samping banyaknya
kesibukan yang tidak menyenangkan. Seringkali di kala itu kita memilih
menenggelamkan diri dalam seni. Saya juga.
Menenggelamkan
diri di dalam seni bisa berarti dua macam, menjadi seorang penikmat, atau ambil
peran jadi pelaku. Saya merasakan, bahwa ada perbedaan jelas yang terasa ketika
saya menjadi penikmat, dengan ketika saya menjadi pelaku seni. Setiap kali saya
menghabiskan waktu untuk nonton film, membaca buku, mengagumi karya seniman, atau
mendengar lagu, rasanya saya hanya sekedar bersenang-senang. Tapi sebaliknya,
ketika saya sendiri yang menari, menulis, bermain musik, atau membuat suatu
karya seni, saya merasa sudah melakukan sesuatu.
Saat menjadi
pelaku seni, manusia merasa dirinya dibutuhkan dan berguna. Di dalam diri mereka
muncul rasa bangga akan apa yang mereka ciptakan. Menjadi pelaku seni membuat
mereka produktif. Ketika manusia hidup produktif, mereka banyak belajar dari
pengalaman, belajar menyelesaikan masalah yang mereka jumpai, dan semakin
kreatif. Produktivitas mengembangkan manusia.
Namun,
menjadi penikmat seni juga hal yang baik, karena bersenang-senang pun adalah
bagian dari sebuah hari. Dari situ pula kita bisa merasakan berbagai macam
perasaan. Mulai dari emosi bahagia, kedamaian, semangat, haru, sampai percikan inspirasi
baru.
Menakjubkan,
bukan? Ternyata kita menjaga seni dan budaya bukan semata-mata karena mereka
warisan leluhur. Tapi, mereka kita jaga karena pengaruh baiknya kepada
kehidupan. Manusia, selama masih menghirup udara, jiwanya tidak pernah terlepas
dari seni. Seni adalah jati diri mereka, tempat mereka menunjukkan eksistensi,
merasa berdaya, dan berbahagia di tengah keindahan. Seni adalah sahabat setia
manusia, hingga akhir hembus nafas. Demikian juga manusia, ia harus menjadi sahabat
seni. Dan bersama, menjalin simfoni kehidupan yang indah.
Daftar
Pustaka:
1. Merdeka.com(10 Februari 2021).
Pengertian Budaya Menurut Pandangan Para Ahli, Jangan Sampai Keliru.
2. Art In Context.com(25 March 2022).
Why Is Art Important? – A Holistic Investigation into the Importance of Art.
https://artincontext.org/why-is-art-important/
3. Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Tugas dan Fungsi Abdi Dalem
https://www.kratonjogja.id/abdi-dalem/3-tugas-dan-fungsi-abdi-dalem/