Pop Corn

 



Sejak awal aku mengira kalau SMP adalah masa paling seru dalam hidup seorang manusia. Orang tua dan saudaraku punya banyak hal seru yang bisa diceritakan dari tahun-tahun SMP mereka. Ditambah lagi, waktu kelas 5 dan 6, aku sedang hobi-hobinya membaca komik serial Pop Corn. Komik itu mengisahkan cerita masa SMP yang penuh persahabatan, cinta, kekonyolan, keusilan, dan keseruan yang dialami enam orang sahabat di seri-seri awalnya. Ah, jadi tidak sabar masuk SMP…

Setelah lama menunggu, akhirnya giliranku mengenakan seragam biru putih tiba juga. Tapi ternyata, SMP tidak seindah komik Pop Corn. Tidak ada yang memuaskan di sana, entah itu angkatanku, kelasku, atau teman akrabku. Malah, cuma ada tiga jenis teman di sekelilingku. Antara menyebalkan, patut dicurigai sekaligus diwaspadai, atau nggak nyambung. Sebagian kombinasi antara dua jenis kategori itu, paling parah campuran ketiga-tiganya. Yah, kalau begini terus namanya bukan seru lagi, tapi kejatuhan sial!

Yang paling menjengkelkan, sepertinya hanya aku yang melihat semuanya dengan sudut pandang itu. Seluruh temanku baik-baik saja dan cepat akrab satu sama lain. Kadang-kadang gesekan mereka lebih hebat dariku, tapi persahabatan mereka juga lebih erat. Sementara aku, dengan cara pandang yang bermasalah itu, mau tak mau mendapat banyak persoalan. Aku lebih mudah mendapat lawan daripada kawan, tidak disukai, nyaris tidak memiliki teman, sering berurusan dengan masalah pertemanan, dan tidak menikmati sekolah. Dan bukan cuma sekolah, aku juga memakai kacamata yang sama untuk melihat dunia di sekitarku. Pikiranku mempunyai banyak kecemasan dan pemikiran negatif tentang dunia ini.

Namun waktu terus berjalan. Aku naik ke kelas 8. Setelah seratus tahun, dunia kembali diselimuti wabah besar. Sekolah ditutup, digantikan oleh rentetan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) panjang yang membosankan dan seolah tak punya ujung. Tidak ada apa pun yang spesial darinya, itu jauh lebih buruk dari tahun pertama SMP. Aneh juga, aku tidak menikmati sekolah, tapi merindukannya. Bagaimana pun, seburuk apa pun teman-temanku, ada saat-saat bahagia yang tidak terlupakan ketika bersama mereka.

Akhirnya datang 2021, di mana aku menduduki bangku kelas 9, kelas yang paling akhir. Gerbang sekolah dibuka dan celoteh ceria di halamannya kembali terdengar. Aku luar biasa semangat, karena akhirnya bisa keluar dari rumah. Waktu bersekolah lagi, aku mendapat banyak kejutan. Sebenarnya, tidak ada yang berbeda. Bangunan sekolahku masih sama, juga teman-teman dan guru-gurunya. Tapi mereka semua berubah. Aku bisa membuat empat jenis baru untuk teman-temanku. Kocak, menyenangkan, mengasyikan, atau sama menyebalkannya seperti dulu. Sebagian kombinasi antara dua jenis kategori itu, paling keren campuran ketiga jenis pertama. Jenis yang keempat, bisa dibilang cukup langka!

Rasanya aneh. Aku mulai ngobrol biasa, atau bahkan ngobrol akrab, dengan beberapa teman yang dulu sangat memusuhiku dan juga amat kubenci. Mereka menerimaku dan rasa sengitku kepada mereka sudah hilang, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu di antara kami. Bahkan ada teman yang punya sisi lain yang selama ini tidak pernah kulihat. Konyolnya, hampir tiga tahun aku salah menilainya.

Memang, dunia ini tidak pernah sempurna. Ada waktunya kecurigaan, masalah, dan pertengkaran ambil bagian. Namun, ceritaku berubah. Hari-hari sekolah menjadi hari berbagi cerita, bersenang-senang, dan merasakan kekocakan khas remaja. Rupanya Yoko Shoji tidak menyebarkan hoax dengan komik serial Pop Corn nya. Sejauh ini, kelas 9 menjadi salah satu masa di mana kebahagiaan dan keseruan terasa begitu utuh.

Tapi bagaimana semua ini bisa terjadi? Kenapa teman-temanku berubah? Segalanya memang membaik, tapi masih ada banyak pertanyaan yang belum terjawab dan menjadi misteri. Cuma ada satu yang pasti. Selama wabah corona, di saat kecemasan menghantui banyak orang, kecemasan di dalam diriku justru berkurang. Pemikiranku terhadap dunia ini pun semakin positif.

Sampai sekarang banyak hal yang membuatku bertanya-tanya. Apakah teman-temanku berubah karena mereka bertumbuh? Jangan-jangan, sebenarnya mereka tidak pernah berubah. Sejak dulu mereka persis seperti yang kulihat sekarang. Tapi, aku menganggap mereka berubah, karena memandang mereka dengan kacamata yang berbeda dengan dulu. Atau, mereka memang bertumbuh dan cara pandangku terhadap mereka juga berubah? Ada banyak kemungkinan.

Wah, pusing juga nih lama-lama. Aku belum bisa menata seluruh kepingan puzzle ini, dan sebagian darinya masih menjadi misteri. Tapi dari situ aku belajar, dunia ini seperti cermin. Apa yang kita lihat, dengar, cium, raba, dan rasakan, itu tergantung dengan isi kepala kita. Karena, cermin memantulkan benda yang ada di dekatnya. Ia jujur dalam mengatakan kebenaran. Apa pun wujud yang tampak, sekalipun itu buruk dan amat mengerikan, tidak pernah disembunyikan olehnya. Di samping itu ia juga memperlihatkan, pantulan elok penuh cinta. Aku melihat, saat aku berubah, dunia di sekitarku pun ikut berubah.

 

Life is like a mirror. Smile at it and it smiles back to you.

-Peace Pilgrim



*Essai perpisahan SMP angkatan 2022 

Sumber foto: https://serc.carleton.edu/quantskills/activities/popcorn.html

Popular Posts