Semangkuk Wedang Ronde
“Bu, ronde kalih nggih. Setunggal anget, setunggal ngangge es.”
“Oh,
nggih.”
“Maturnuwun
nggih Bu.”
“Nggih,
sami-sami.”
Menyeruput
ronde hangat memang menyenangkan, terlebih saat hawa dingin menggigit. Nikmat! Sudah
puluhan tahun ronde menjadi bagian dari kehidupan Indonesia. Karena itu, tak
heran jika pedagang ronde tersebar di seluruh penjuru kota. Uniknya, meskipun si
pedagang hanya berdiri diam di belakang gerobaknya, wedang ini selalu banjir
pembeli. Siapa sangka, ronde yang telah begitu merakyat ternyata berasal dari
Tiongkok!
Menelusuri
jejak sejarah di negara asalnya, makanan ronde muncul pada masa pemerintahan
Dinasti Han (206 SM – 220 M). Sementara, sembahyang ronde pertama kali diadakan
di waktu Dinasti Song berdiri (960 – 1279 M). Bayangkan, ronde sudah ada sejak
2000 tahun yang lalu! Pada saat itu bentuknya serupa dengan yang kita jumpai
hari ini, yang berbeda hanyalah isinya yang kosong tanpa kacang tumbuk. Bentuk
itu terus bertahan hingga ronde memasuki Indonesia. Orang Tiongkok mengenal dua
sajian ronde yang berbeda. Penduduk daerah utara membuatnya dengan kuah daging,
namanya yuan xiao. Sedangkan, ronde asal selatan dikenal dengan kuah jahenya
yang manis, orang menyebutnya tang yuan.
Ronde menjadi
makanan utama pada Festival Yuan Xiao (festival lentera), perayaan 15 hari
sesudah Imlek. Festival ini diadakan untuk merayakan bulan purnama pertama di
tahun yang baru. Ssst, ada kisah dibalik kehadiran ronde pada perayaan ini…
Menurut cerita rakyat, suatu ketika ada seorang pendeta yang mengeluarkan
ramalan buruk. Ramalan itu mengatakan bahwa pada tanggal 15 bulan 1, kota akan
dibakar oleh seorang wanita berpakaian merah. Untuk menyiasati wanita itu, penduduk
beramai-ramai menyalakan petasan dan menggantung lampion, sehingga seolah-olah
kota itu telah tertelan api. Rakyat juga mempersembahkan makanan ronde kepada
dewa langit melalui seorang pelayan wanita bernama Yuan Xiao.
Pada hari
itu tembok istana dibuka, sehingga orang dalam istana bisa berkumpul kembali
dengan keluarganya dan bertemu penduduk kota. Tanpa sadar, siasat penduduk kota
telah menyatukan kembali keluarga-keluarga dan mendekatkan mereka satu sama
lain. Sejak saat itu festival lentera dirayakan setiap tahun. Nama Yuan Xiao diabadikan
menjadi nama festival untuk mengenang peristiwa itu.
Selain menjadi
sajian utama di tanggal 15, ronde ikut memeriahkan Tang Ceh. Tang Ceh sebuah
perayaan puncak musim dingin yang berlangsung di akhir tahun. Waktu yang
sempurna untuk menyantap ronde panas. Di saat itu, orang-orang berkumpul
bersama keluarganya untuk memasak dan menyantap ronde bersama. Mereka
bersembahyang kepada leluhur dan mempersembahkan ronde berwarna merah dan putih.
Keharmonisan keluarga menjadi salah satu bagian terpenting dalam kehidupan Orang
Tiongkok. Mereka meyakini, ronde melambangkan semua itu. Tekstur lengketnya
menyimbolkan kebersamaan keluarga yang erat, dan bentuknya yang bulat menggambarkan
sebuah keutuhan dan keharmonisan dalam keluarga.
Tang Ceh
juga memiliki cerita. Dahulu kala ada seorang ibu yang memiliki anak bermata buta.
Karena sangat mengasihi anaknya, sang ibu rela mencungkil matanya untuk
diberikan kepada buah hatinya. Ronde pun diciptakan untuk mengenang cinta seorang
ibu. Uniknya, perayaan Tang Ceh di Indonesia seringkali bertepatan dengan Hari
Ibu, kecuali pada saat tahun kabisat.
Ronde mulai
memasuki Indonesia bersamaan dengan gelombang migrasi orang Tiongkok menuju
nusantara. Tiongkok negeri yang gersang pada masa lalu, satu-satunya daerah
subur terletak di tepian Sungai Kuning, akan tetapi daerah itu pun memiliki
persoalannya sendiri yaitu banjir. Karena itu orang Tiongkok suka merantau
untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Sebagian besar dari perantau terdiri
dari pria, karenanya banyak di antara mereka yang menikahi perempuan lokal dan
menghasilkan kawin campur.
Sesampainya
di Indonesia, ronde mengalami perubahan. Isi dalam ronde diberi kacang dan gula
jawa. Kuahnya juga semakin ramai dengan tambahan agar-agar, mutiara, dan
kacang. Orang Indonesia tidak mengenal ronde dengan kuah daging, karena
mayoritas pendatang Tiongkok berasal dari daerah selatan.
Di nusantara
sebutan Festival Yuan Xiao berubah menjadi Cap Go Meh, lambat laun lontong
menggantikan kedudukan ronde sebagai hidangan utama di dalamnya. Namun ronde
masih disajikan di setiap perayaan Tang Ceh. Meskipun hanya sedikit di antara
kaum peranakan yang masih melakukan ritual sembahyang ronde di rumah, akan
tetapi klenteng-klenteng peranakan rutin melakukan sembahyang ronde setiap
tahunnya. Dalam sembahyang itu, ronde menjadi makanan persembahan yang
diberikan kepada dewa.
Meskipun ada
beberapa perbedaan antara ronde Tiongkok dengan ronde peranakan, namun di mana
pun ronde berada, ia mendatangkan kehangatan yang sesungguhnya. Bukan kehangatan
yang hanya terasa di tubuh, tapi juga di dalam hati. Ronde menyatukan manusia
dalam keluarga, tempat di mana cinta tumbuh dari kedekatan. Kala mengobrol, memasak,
dan makan bersama, timbul rasa kasih. Ronde juga menjadi sejarah bertemunya dua
etnis, yang karena saling berbagi menjadi sahabat - memperkaya tanah air,
hingga penuh dengan warna kehidupan.
Narasumber:
-Hendra
Kurniawan, dosen pendidikan sejarah Universitas Sanata Dharma
-Alona Ong, pemerhati
budaya.
-Mulyati,
pedagang ronde di Jl. Sempor Lama, Gombong.
Daftar
pustaka:
https://www.britannica.com/topic/Lantern-Festival
https://nationalgeographic.grid.id/read/13309048/sejarah-tradisi-perayaan-onde