Dari Anak Perempuan, Tentang Ayah
Biar bumi berguncang aku tak akan bangun dari tidurku.
Awal mula, itulah yang yang kupikirkan tentang Ayah
sebagai anak perempuan. Aku sering berpikir, Ayah ada di ujung Kutub Utara,
berseberangan dengan Ibu di Kutub Selatan. Satu-satunya manusia paling
pengertian di bumi ini, hanya Ibu seorang. Dia mau mendengarkan setiap bulir
curhat, mengekspresikan cinta dengan cium dan peluknya, rela masuk ke dalam
dunia masa kanak, dan dengan senang hati memberikan waktu untuk gadis kecilnya.
“Hari yang baik? Apa saja yang kau kerjakan? Bagaimana
perasaanmu sekarang?” Pertanyaan-pertanyaan semacam itu aku sebut sebagai pertanyaan
Ibu karena Ayah tidak pernah melakukan hal-hal semacam itu. Dia sering terlihat
tidak peduli dengan apa yang dilakukan putrinya, kecuali itu benar-benar hebat
dan sangat menarik bagi dirinya. Jika putrinya menangis atau kesal, dia
cenderung menjauh dan tidak mau mengganggu.
Terkadang di mata kecil seorang anak perempuan, Ayah jauh
dari kata menyenangkan. Ayah tidak pernah memahami. Dia selalu menganggap segala
permasalahan sepele dan terlalu dilebih-lebihkan, baginya setiap persoalan anak
perempuan bisa diselesaikan dalam satu jentikan jari. Dia cuma bisa menunjukkan
ketidaksukaannya kalau mendengar kekesalanku, padahal anak perempuan butuh
sekali ruang untuk bercerita. Kalau Ayah sedang pengertian, ia hanya dapat
memberikan solusi-solusi payah yang sama sekali tidak berguna. Jawabannya juga
kurang lebih sama, biarkan, biarkan, dan biarkan saja. Sepertinya bagi dirinya
hidup itu sesimpel mengayuh sepeda.
Menghabiskan waktu dengan Ibu jauh lebih menyenangkan,
dibandingkan terus menerus merasa frustasi mencoba berbicara dengan Ayah. Tanpa
sadar hal itu menggerus hubungan dengan Ayah. Tapi bagaimana lagi, Ibu
mempunyai kemampuan lebih untuk membuat seorang anak perempuan sepertiku merasa
nyaman.
Waktu terus berjalan, aku beranjak remaja. Karena
pandanganku bertambah dewasa, aku memulai usaha keras untuk memperbaiki
hubunganku dengan Ayah. Kupaksa diriku untuk mengajaknya bicara, tapi jika
hanya berdua saja dengannya, aku seringkali merasa canggung walaupun ia hanya
orangtuaku sendiri. Entah mengapa, ekspresi cinta yang kami lakukan satu sama
lain terasa begitu kaku dan janggal. Padahal, hal itu jarang sekali terjadi di
antara aku dan Ibu.
Wah, wah, wah, sepertinya kisah ini akan menjadi sad
ending. Tunggu dulu, jangan cepat mengambil kesimpulan. Aku memang perlu
menunggu cukup lama, tapi lambat laun, usahaku untuk mengakrabkan diri dengan
Ayah membawa hasil. Aku mulai dapat menyelami pribadi Ayah, yang ternyata juga
gagal kupahami selama ini. Ternyata, aku tidak ada bedanya dengan Ayah.
Terkadang, pria dan wanita mempunyai sifat dan cara
yang berbeda untuk mengekspresikan diri. Hal itu seringkali sulit disadari di
saat timbulnya masalah. Contohnya dalam menghadapi persoalan, sikap lelaki
cenderung cuek, menyepelekan, simpel, dan praktis. Sedangkan perempuan menaruh
banyak sekali perhatian pada masalah mereka, dan memilih untuk menyelesaikannya
dengan banyak kata-kata. Mereka suka berpikir rumit dan tidak praktis.
Pertanyaan mengapa anak perempuan mudah sekali cocok
dengan Ibu pun terjawab. Ibu memiliki sifat dan ekspresi diri yang serupa
dengan putrinya, sehingga pemahaman satu sama lain pun cepat terbentuk.
Sementara itu, Ayah kerap menjadi sosok yang salah dipahami oleh gadis
kecilnya. Jadi sepertinya bukan hanya aku yang gagal dimengerti oleh Ayah, tapi
aku juga tidak berhasil memahami dirinya.
Setelah muncul pemahaman baru, setiap anak perempuan
memiliki kisah yang berbeda tentang Ayah mereka, karena sifat Ayah yang satu
dengan Ayah yang lainnya pasti berlainan. Jadi mulai sekarang kisah ini akan
berubah menjadi kisahku sendiri, dan sosok “aku” ini akan kuganti menjadi
diriku yang sebenarnya.
Aku sadar, sampai kapan pun Papa tidak akan pernah
ingat memberi ciuman, dekapan, atau ungkapan “Aku sayang kamu.” Dia akan selalu
lupa untuk bersabar mendengarkan curhatan, belajar memahami, atau menanyakan
kabarku. Tapi dalam beberapa hal, ingatannya jelas sekali. Papa selalu ingat
untuk menceritakan pada seisi keluarga kisah masa kecilnya yang bahagia. Karena
dulu Papa nakal, ceritanya menjadi lucu dan mengasyikan. Dari kenangan-kenangan
itu, aku juga mendapatkan gambaran kehidupan di tahun 1980, 1990, dan 2000
awal.
Ketika remaja, aku mulai menyukai musik rock. Sejak
kecil selera laguku memang sudah bernuansa 90-an, tapi sekarang rock ikut
mewarnai duniaku. Semenjak saat itu, Papa hobi sekali menunjukkan padaku
lagu-lagu rock yang mungkin akan kusukai. Waktu SMP sampai SMA, Papa membentuk
grup band dengan teman sekolahnya. Dia tahu banyak tentang rock. Pernah
aku sengaja menghampirinya di waktu ia sedang memainkan gitarnya. Kuminta
dirinya memainkan, “To Be With You”, “Unconditionally”, dan lain-lain. Papa
dengan senang hati melakukannya. Aku suka mendengarkan permainan gitar
listriknya dan mengikuti semangat mudaku.
Terkadang Papa mengajakku makan berdua. Di keluargaku,
hanya kami berdua yang makan daging, Mama dan adikku tidak. Karena di rumah
kami tidak pernah memasak daging, kadang-kadang kami pergi makan berdua. Di
saat-saat itulah, kami ngobrol bersama dan saling bercerita.
Belakangan ini, aku mendengar bahwa ketika bayi dulu
aku mempunyai masalah pencernaan yang sangat parah. Selama berbulan-bulan, Papa
dan Mama berusaha keras membuatku dapat buang air menggunakan selang yang disedot.
Alat selang itu cukup beresiko, karena saat disedot, kotoran yang keluar bisa
masuk ke mulut. Tapi orangtuaku tetap melakukannya. Aku tersadar, lelaki tidak
banyak bicara dan berekspresi, tapi ia banyak memberi cinta.
* Karya pernah dimuat dalam rubrik literasi Majalah UTUSAN edisi September 2022