Kue-Kue Manis

Sebal, jengkel, kesal, muak! Seisi dunia sibuk mengoceh tentang gim yang keluar baru-baru ini! Gim? Siapa sih dia? Dia cuma layar yang bergerak-gerak di atas benda berbentuk kotak! Gambar yang menari-nari seperti kesetanan dan harus ditekan supaya bergerak sesuai yang kita mau. Apakah gim sudah mempengaruhi teman-temanku? Bisa-bisanya mereka tertarik pada benda payah itu! Semua pembicaraan pasti mengarah padanya, ujung-ujungnya selalu saja dia. Dongkol aku jadinya!

“Kring! Kring! Kring!” Bel pulang sekolah berseru. Aku berjalan keluar dari kelas dan berlari secepat-cepatnya meninggalkan halaman sekolah. Selamat tinggal gim, semoga kita tidak pernah berjumpa lagi. “NYEREMPET!” Seru Hongky, kawan satu kelasku, keras-keras sambil berlari melesat dan menubrukku bersama sepeda yang dituntunnya. Jantungku serasa mau copot. Belum lagi satu menit tersenyum, bibirku sudah melorot lagi ke bawah. Awas dia! Kulempar tas sekolahku tepat ke arahnya, biar tahu rasa. “Hei! Jangan marah-marah terus dong, Ndra. Mungkin gim itu tidak seburuk yang kau bayangkan. Yuk, kita coba main sepulang sekolah di rumahku! Kalau mau, jam empat kamu bisa datang,” Hongky berseru sambil berlalu dengan sepedanya.

Bagus, pergi saja kau! Sepertinya sekarang aku bisa bersantai, dan terbebas seratus persen dari kuasa sang gim. Tapi, kenapa suasana hatiku masih seburuk ini? Aku memandang jalanan Gombong yang ramai sambil mengutuk gerah. Hampir saja seekor cicak menjadi korban ketapel karetku, ketika kudengar sebuah suara di sampingku. “Di kawasan pecinan Gombong, dalam deretan toko yang berdesakan itu, ada sebuah lorong ajaib.” Aku menoleh ke arah sumber suara dan melihat seorang anak perempuan sebayaku berdiri sambil tersenyum. “Apa kamu bilang? Siapa kamu? Memangnya kita saling mengenal? Pakaian macam apa yang kamu pakai sekarang? Kamu sangat aneh seperti makhluk luar angkasa!” Kataku keheranan.

Aku tidak berlebihan, kamu pasti juga sangat kebingungan jika berada di posisiku. Anak perempuan yang berdiri di hadapanku itu berpakaian sangat kaku, ia mengenakan congsam ketat dan rambutnya seperti helm hitam yang buruk rupa. Bocah itu aneh, jangan-jangan dia benar-benar penghuni pesawat luar angkasa. Tapi bagaimana kalau lorong ajaib yang dikatakannya sungguh-sungguh ada? Mungkinkah ini semua akan mengubah hari payahku menjadi petualangan? Akhirnya aku pun bertanya tak sabar, “Yang mana? Yang mana? Yang mana?” Mendengar pertanyaanku, sosok misterius itu berseru, “Wah penasaran ya? Kalau begitu bergabunglah denganku, dan ikuti petunjuk arahku!”

Ciitt! Di tengah percakapan, sebuah angkot warna-warni dengan lagu dangdut gaduhnya yang terdengar sampai luar, berhenti di depanku. “Mboten, Pak (Tidak, Pak)!” Kutolak si sopir angkot dengan halus. Sopir angkot itu lantas menatapku penuh tanya, tapi kembali menginjak gas, meninggalkan diriku sendirian bersama si anak aneh. Bapak di kursi kemudi itu mengenalku dengan baik, demikian juga aku. Sepertinya bukan cuma dia, tapi semua pengemudi kendaraan umum di Gombong. Setiap pulang sekolah aku senang sekali duduk di kursi terdepan dan memberikan teka-teki. Sopir-sopir angkot tertawa dan menanyakan namaku, lalu kami berteman satu sama lain.

Usai memandangi kepergian angkot itu, si nona kecil bertanya, “apa yang barusan lewat tadi?” Aku melotot. Pertanyaan macam apa itu?! “Itu angkot, semacam bis kecil. Banyak orang mengendarainya untuk berpergian, entah itu ke sekolah, pasar, rumah teman, atau tempat-tempat lainnya. Memangnya kamu belum pernah melihatnya?” Aku balik bertanya. “Iya, keren sekali,” ucapnya takjub. Sangat aneh memang, tapi itu belum seberapa. Setelahnya aku harus menjelaskan padanya apa itu motor, mobil, gawai, papan-papan iklan, dan semua benda paling lumrah lainnya. Aku sangat yakin kalau dia sejenis makhluk luar angkasa, tapi jenis yang paling purba.

Butuh waktu lama bagi anak perempuan itu untuk mengagumi angkot, sampai akhirnya ia berseru penuh semangat, “Ayo kita memulai perjalanan kita!” Aku tersentak, tersadar dari lamunanku. “Namaku Kiet Lan,” Ia berkata lagi dengan ramah. Kiet Lan? Aku tersenyum. Nenekku, yang biasa kupanggil Emak, suka sekali bercerita. Tak jarang dia menyebut nama Kiet Lan dalam kisah masa kecilnya. Kiet Lan adalah ibu Emak, jadi dia nenek buyutku dan aku menyebutnya Mak Co. Sayangnya aku tidak pernah berjumpa dengan Mak Co, dia meninggal jauh sebelum aku dilahirkan. Kiet Lan, sebuah nama yang begitu kuno…

“Siapa namamu?” Bocah perempuan itu balik bertanya. “Aku Indra,” balasku sambil tersenyum. Segera setelah aku menjawab tanyanya, melangkahlah kami berdua menyusuri Jalan Yos Sudarso yang ramai, mengawali sebuah perjalanan menakjubkan. Waktu itu pukul satu siang. Matahari tepat berada di atas kepala, panasnya yang membakar terasa begitu nyata, tetesan keringat mengucur deras tatkala aku mengernyitkan mata sipitku. Hawa sangat panas di Kota Gombong.

Orang berlalu-lalang dengan motor, mobil, angkot, sepeda, atau dengan kaki mereka sendiri. Sebagian menunggu di balik toko, gerobak dorong, percetakan, warung, dan kawan-kawannya. Anak-anak sekolah bergerombol bersama beberapa orang temannya sambil menggenggam sekantong penuh camilan. Mereka semua menatap keheranan dan tidak melepaskan pandangan sampai kami berjalan cukup jauh. Tapi aku tidak peduli, aku merasa sangat keren berpergian dengan mahluk luar angkasa. Siapa lagi sih yang pernah mengalaminya?

Aku sibuk mengamatinya selama perjalanan. Dia aneh. Tadi dia mengajakku pergi ke lorong ajaib di daerah pecinan, tapi ia sendiri merasa asing dengan tempat ini. “Jadi kamu datang dari mana?” Tanyaku. “Dari langit,” Kiet Lan tertawa. Benar kan apa kataku? “Apakah lorong ajaib bagian dari misimu?” Aku kembali bertanya. “Ya,” ucapnya. Aku pun kembali mengamati Kiet Lan. Misi apa ya yang sedang dikerjakannya? Ingin sekali aku bertanya, tapi takut kalau dia mendadak marah.

Selama beberapa waktu makhluk luar angkasa itu terlihat aneh, terkadang dia seperti terpukau dan di lain waktu merasa tidak nyaman. “Menurutku kota tempat tinggalmu ini seharusnya bernama Amat,” kata Kiet Lan. “Karena dia amat segalanya. Amat menarik, amat menakjubkan, amat cepat, amat panas, amat ramai, amat berisik, amat gersang, amat berdebu, amat..” “Cukup, cukup, cukup, aku bisa membayangkan amat lainnya yang akan kamu sebutkan,” aku tertawa. Kiet Lan tersenyum geli, “Baiklah, baiklah. Tapi coba kamu lihat, semua orang seolah sedang dikejar waktu. Contohnya kendaraan-kendaraan di depan kita. Mereka melaju sangat kencang,” anak perempuan itu melanjutkan.

“Lalu kotamu sendiri bagaimana?” Aku bertanya. Kata Kiet Lan, “Di sana pepohonan tumbuh di mana-mana, banyak tanah lapang yang bisa dipakai untuk bermain, dan angin berhembus sejuk. Tempat itu sunyi dan damai. Tidak ada banyak orang, dan setiap kali berpergian aku selalu naik sepeda.” Aku terdiam, membayangkan planet Kiet Lan. Aku mau pergi ke sana suatu waktu nanti.

“Kita sudah sangat dekat! Sungai itu pertandanya!” Seru Kiet Lan saat kulihat jembatan kokoh dengan aliran sungai deras di bawahnya. Kata Kiet Lan, sungai itu adalah gerbang pecinan Gombong yang abadi. Kiet Lan benar, tak lama kemudian deretan toko mengelilingi tempat kami berpijak. Orang Tionghoa selalu berdagang, dari dulu sampai sekarang. Sepertinya mereka tinggal di sana dalam waktu yang lama, karena ada beberapa bangunan beratap tapal kuda. Gaya yang sangat lama menurut Emak. Kata Emak, dulu sekali Mak Co tinggal di rumah seperti itu, satu atap bersama dua keluarga lain yang masih bersaudara dengannya. Sepertinya hidup seperti itu sangat tidak nyaman.

Di depan sebuah toko kue mungil, langkah Kiet Lan terhenti. “Kita sudah sampai, ini lorong waktu yang kumaksud!” Kata Kiet Lan. Aku sama sekali tidak memahami apa yang dikatakannya, itu kan cuma toko biasa. Apa yang akan terjadi? Apakah ada negeri di dalam lemari? Atau ada stasiun di dalam toko yang mempunyai Platform 3/4? Aku pun berjalan mengikuti Kiet Lan yang memasuki bangunan itu dengan penuh tanya.

Toko kue itu begitu tua. Rak, lemari, bahkan kaleng-kaleng kue di dalamnya sudah berdiri di sana sejak puluhan atau bahkan seratus tahun yang lalu. Pemiliknya seorang Emak yang juga sama tuanya. Setiap kali kudongakkan kepala kecilku, ada banyak sekali toples dengan kue beraneka, yang sebagian besar berbentuk asing namun terlihat sangat menggiurkan. Kue ada di mana-mana, di kanan, di kiri, di atas, kecuali di bawah. Aku berdiri dengan mulut ternganga, toko kue ini memang lorong ajaib! Lorong ajaib yang mempertemukan detik ini dengan masa lampau.

“Selamat datang di toko kue, anak-anak! Silahkan pilih kue-kue kesukaan kalian. Mau yang mana?” Emak pemilik toko tersenyum. “Wah, apakah barusan ada acara kebudayaan di sekolah kalian? Bajumu mengingatkanku pada foto masa kecil Mama Emak.” Emak tertawa kecil dan Kiet Lan tersipu.“Tidak ada acara apa-apa Emak. Aku suka memakai pakaian seperti ini. Emak, aku beli kue jahe, gem kembang, dan kuping gajah ya,” Kiet Lan mengucap, membuatku kembali melongo. “Kau mau memborong semua ini? Banyak sekali uang sakumu!” Aku berkata terkejut. “Ini untuk kita makan bersama nanti,” bocah itu terkikik. Kepalaku mengangguk-angguk.

“Emak,” Kiet Lan memulai percakapan. “Seperti toko lainnya, toko kue ini pasti punya cerita dibaliknya, bukan? Tolong ceritakan kisah-kisah itu pada kami.” “Wah, baik, baik. Kalian pasti suka sekali mendengarnya,” kata Emak lembut. “Tunggu sebentar Mak. Indra, Indra, aku punya ide bagus! Kita mendengarkan cerita Emak sambil makan kue yuk,” sela Kiet Lan. “Wah asyik, terima kasih kuenya,” ucapku sembari meraup segenggam penuh kue di tangan. Kiet Lan membelalakan mata. “Ha ha ha, anak pintar. Nah sekarang Emak akan memulai kisahnya,” Emak tersenyum, matanya menerawang ke kejauhan.


Kisah Toko Kue Sucang

Dulu sekali, Lie Tjiok Tjiang pergi dengan kapal layar di lautan lepas, meninggalkan negeri Tirai Bambu di kejauhan, menyongsong Hindia Belanda nun jauh di Selatan. Setibanya di Hindia Belanda, menetaplah ia di Gombong, sebuah kota yang sedang berkembang. Di Gombong, Lie Tjiok Tjiang menikahi wanita berdarah tionghoa dan membangun toko kue, yang kemudian dikenal dengan nama “Sucang”. Agaknya penduduk setempat berusaha keras menyebut nama si pemilik semampunya.

Pada masa itu Toko Kue Sucang selalu beraroma harum, kue-kue di setiap toplesnya dibuat oleh tangan piawai sendiri. Orang berbondong-bondong datang dan memilih kue kesukaan mereka, lalu pulang dengan bungkusan kertas koran yang penuh kue. Kertas koran di masa silam tidak pernah menganggur setelah dibaca. Mereka masih harus mengerjakan tugas lanjutan mereka, untuk mengantar kue-kue pada tujuan akhir mereka di toples kaca dalam lemari.

“Toko Kue Sucang diwariskan turun temurun dari orang tua ke anak, Emak dan kedua saudara Emak adalah generasi ketiga Lie Tjiok Tjiang,” tuturnya. Rupanya Emak memiliki dua orang saudara yang juga mengelola toko kue itu, sayangnya mereka sedang pergi keluar kota. Sekarang ini Toko Kue Sucang masih sama. Sebagian besar kue memiliki kenikmatan tempo dulu, rak dan lemari tua tetap setia menemani. Hanya saja kue-kue mereka kini dipesan dari pabrik dan ada dua lemari toko baru yang berdiri kokoh di dalamnya.

“Kalian lihat lemari di ujung sana,” Emak memecah keheningan sambil menunjuk sebuah lemari kaca berbingkai kayu. “Itu salah satu peninggalan Engkong. Lemari itu sangat kuat, tidak pernah termakan rayap, bahkan belum rapuh setelah puluhan tahun.” Aku menatap lemari tua itu lekat-lekat sambil terkagum-kagum.

Saat itu, mulutku penuh dengan kue yang kuambil dari kantong plastik di genggaman Kiet Lan. Aku sangat menyukai gem kembang, biskuit bundar kecil dengan gula berwarna-warni di puncaknya. Rasanya seperti disambut kejutan manis yang mencair lembut di lidah. Aku juga meraup banyak sekali kuping gajah, biskuit manis tipis, sayangnya kepalaku pusing melihat motifnya yang berputar-putar. Kemudian…Oh maaf, aku melupakan kue jahe, terus terang aku tidak menyukai rasa kuning telurnya yang menyengat, jadi sebaiknya Kiet Lan saja yang menghabiskannya.

Emak terus bercerita, dan sewaktu Emak mengakhiri kisahnya Kiet Lan berkata, “terima kasih Emak, cerita yang menarik.” Namun tak lama setelahnya, aku dan Kiet Lan merasakan perubahan di raut wajah Emak. “Sayang sekali kisahnya tidak berakhir bahagia. Seluruh generasi keempat Toko Sucang tinggal di luar kota. Aku ragu, apakah toko ini dapat terus bertahan kelak, setelah berdiri puluhan tahun lamanya,” ada sedikit nada kecewa yang mengiringi ucapannya.

“Aduh, mengapa begitu. Padahal toko ini sangat unik,” kata Kiet Lan. “Mereka rugi besar karena tidak meneruskannya,” sambungku. Kalau saja aku cucu pemilik toko ini, sudah pasti aku mau menjadi penerusnya. Kelihatannya menyenangkan bisa menunggu pembeli sambil mencomot kue sepuas-puasnya.

“Emak, sepertinya kami harus pulang sekarang, nanti A Pa dan A Ma akan mencari. Aku berjanji akan bermain ke sini lagi suatu saat nanti.” Kiet Lan pamit. “Suatu saat nanti? Tidak perlu menunggu selama itu, aku siap menerima tamu-tamu kecilku ini kapan pun!” Emak tertawa ceria.

“Terima kasih Emak,” aku berkata sembari berpikir berulang-ulang tentang cara Kiet Lan memanggil ayah dan ibunya. Tapi sebenarnya tidak ada gunanya merasa bingung, toh bocah itu tidak berasal dari bumi. Namun ternyata Emak juga terkekeh, katanya,“Nak, sepertinya kau calon pemerhati budaya. Bayangkan, baru sekali ini aku mendengar seorang anak perempuan memanggil orang tuanya dengan panggilan asli Hokkian.” Kiet Lan tersenyum penuh rahasia.

Siang itu aku dan Kiet Lan melambaikan tangan lama sekali pada Emak, hingga ia dan toko kuenya berubah menjadi titik kecil di kejauhan. Dalam perjalanan pulang, mendadak ucapan Emak terngiang-ngiang dalam benakku, “aku ragu, apakah toko ini dapat terus bertahan kelak.” Ucapan itu mengingatkanku akan kata-kata serupa yang dituturkan Emakku suatu hari, waktu kami sedang duduk berdua. “Indra,” katanya. “Aku ragu, apakah tradisi sembahyang yang kucintai ini dapat terus bertahan kelak. Aku membutuhkan seorang penerus yang tidak kumiliki.”

Di sini, di Jalan Yos Sudarso yang ramai, kupejamkan mata. Terbayang dalam benakku, Imlek, Cap Go Meh, dan Ceng Beng. Bacang, kue bulan, ronde, kue mangkuk, dan kawan-kawannya di meja. Perjamuan leluhur yang dengan senang hati disiapkan bersama, bakar membakar uang kertas untuk diposkan ke surga, bersih-bersih kuburan nenek moyang, dan tontonan atraksi barongsai. Tradisi-tradisi itu pasti ada karena suatu alasan. Mereka ada untuk mengingatkan kita agar mengenang dan menghormati nenek moyang, mempererat kerukunan, dan mendekatkan kita kepada Tuhan. Tradisi-tradisi itu tidak boleh punah!

Detik itu juga kurasakan keinginan yang begitu kuat untuk menjadi pahlawan budaya, yang menjaga baik-baik tradisi sebagai seorang anak tionghoa. Jangan kahwatir Emak, biar masalah sembahyang itu beres di tangan Indra! Kelak Indra yang akan menyembahyangi Emak, Indra akan mengeposkan permen Davos kesukaan Emak!

“Indra, aku akan bermain sulap. Jangan terkejut ya,” aku tersentak dari lamunanku dan menyadari Kiet Lan tengah berbisik. Jangan terkejut? Tik! Kulihat ia menjentikkan jemarinya. Seketika kota menjadi sepi, seolah lelap dalam tidur karena kelelahan. Toplak! Toplak! Toplak! Sebuah kereta kuda melaju dari kejauhan, semakin lama semakin dekat. Tak lama kemudian aku dapat melihat seorang pria gendut dan gundul dengan pakaian changsan yang terkancing rapi, duduk tegap di atas kursi kusir. Jantungku berdebar-debar karena was-was, menurutku ia orang paling menakutkan yang pernah kulihat. Bulu kudukku satu persatu tegap berdiri.

Untung saja aku cepat menyadarinya, dan memutuskan berpura-pura berani menghadapi raksasa mengerikan yang kini berhenti tepat di depan kami. Sang raksasa turun dari tempatnya duduk dengan langkahnya yang berdebum-debum. Dia menatap sekelilingnya dengan keheranan. “Gombongku,” bisiknya. “Aku tidak lagi mengenal wajahmu.” Setelah termenung selama beberapa waktu, ia melambaikan tangan dan bertanya ramah, “Halo Kiet Lan, bagaimana petualangan mantra ajaib A Pa? Mengasyikan?”

Kiet Lan berlari dan memeluk pria yang ternyata adalah ayahnya. “Asyik sekali A Pa, luar biasa menakjubkan!” Sang A Pa balas mendekapnya, kemudian menatapku dengan senyuman. “Wah, kau mendapatkan seorang kawan rupanya? Siapa namamu sobat kecil?” Aku membalas senyumannya. “Indra,” jawabku, kini tanpa rasa takut. “Indra? Nama yang sangat unik! Baiklah sudah waktunya bagi kami untuk pergi. Terima kasih sudah menemani Kiet Lan dalam petualangan pertamanya!”

“Sampai jumpa Indra! Sampaikan salamku untuk anak perempuanku, Kyat Nio. Dan katakan padanya kalau cucunya teman yang mengasyikan.” Kiet Lan berseru sambil menaiki kereta kudanya. Kyat Nio? Emak?! Seketika sosok Mak Co Kiet Lan dalam kisah Emak menjadi nyata. Mak Co Kiet Lan yang menurut cerita seorang yang ceria, yang mencintai budaya kami melebihi apa pun di dunia.

Toplak! Toplak! Toplak! Kuda penarik kereta mulai berlari, membawa pergi kedua orang penumpangnya semakin jauh.“Kamu Mama Emakku, yang selama ini kudengar kisahnya!” Aku berseru keras-keras, “Terima kasih Mak Co Kiet Lan! Terima kasih kue-kue lezatnya. Terima kasih sudah mengajakku pergi ke Toko Kue Sucang. Perjalananmu telah memberiku sebuah ide bagus yang…” Sayang sekali kata-kataku tak bisa kuselesaikan. Mak Co Kiet Lan sudah terlalu jauh. Di kejauhan aku melihat ia, Kong Co, dan kereta kuda mereka terbang ke angkasa, meninggalkan kenangan indah di dalam hatiku.

Toko Kue Sucang di Jalan Yos Sudarso Gombong


Popular Posts