Bali Ndeso, Merenungi Makna Kehidupan

 


Tiga belas Februari hingga lima hari setelahnya, seluruh siswa fase E SMA St Yosef Surakarta berkegiatan live in di Giriwoyo, Wonogiri. Kami masing-masing dibagi dalam kelompok dan ditempatkan di dusun yang berbeda-beda. Aku mendapatkan rumah lima hariku di dusun Jatiharjo, di tempat tinggal Bu Giryani bersama Maria.

 Jatiharjo bisa dibilang daerah pelosok. Pemandangan masih rindang di kanan kiri, orang-orang tinggal di rumah tradisional berbentuk joglo, bahkan kita tidak bisa menemukan supermarket kecil di sana. Uniknya sinyal di dusun cukup bagus, meski sedang musim penghujan dan daerah kami basah terguyur setiap hari. 

Live in ini cukup menantang bagiku di awal. Sebagai orang yang terbiasa hidup sesak aktivitas, ritme desa yang lambat memunculkan banyak kontra di dalam diriku. Ini musim hujan, petani sedang berdiam di rumah. Setiap hari orang tua asuhku hanya berbelanja ke pasar, masak, dan menjaga toko kelontong miliknya. Ia lebih suka berkerja sendiri, dan sebaliknya aku dan Maria justru disuruh tidur saat menawarkan diri membantunya. Ditambah tak adanya agenda dari sekolah dan hari yang sebagian besar dipenuhi dolan, aku menduga bakal pulang dengan bekal kosong.

Uniknya, justru kelambatan ritme desa itu yang membuatku belajar tentang melepas ambisi,  menikmati saat ini, menerima keadaan, menjalani apa yang ada, mengerti bahwa ada kalanya kita perlu berhenti sejenak dan undur diri dari segala kesibukan. Iya. Anggap saja live in ini libur semester! 

Hari demi hari berlalu, tak kami perlahan Bu Giryan menerima uluran tangan kami. Kami pun memasak, menyapu rumah, menjaga toko, menata etalase, menjaga cucunya, dan menjemur serta memasukan gabah ke karung.

Bu Giryani salah satu orang yang menunjukkan padaku bagaimana menjalani hidup yang mengalir. Saat hari hujan, seisi rumah terlelap di tengah suara rintik hujan. Ia bekerja di saat cuaca cerah, hari hujan adalah pertanda bahwa saat istirahat telah tiba. 

Sepanjang hari Bu Giryani menghidupi dirinya, yang tinggal seorang diri di rumah, dengan sawahnya dan toko kelontong di depan rumah. Sawahnya menghasilkan beras yang dijual ke pemasok dan memampukannya melakukan swasembada beras di rumah. Sedangkan toko kelontong itu ia buka setiap hari, pagi pukul 6 hingga jam 9 malam. Layanan antar juga dikerjakannya sehari-hari di kala pesanan muncul dari pesan Whattsapp.

Apa yang menarik dari beliau adalah rasa sayangnya yang besar terhadap keluarganya. Bu Giryani sangat mempercayai kekuatan doa. Menurut apa yang diyakininya, tengah malam adalah waktu di mana Tuhan mengabulkan segala doa yang dipanjatkan oleh manusia. Maka saban hari ia bangun pukul 12 untuk mendoakan kedua anaknya yang sudah tidak tinggal satu atap dengannya. 

Tak berhenti pada kedua anaknya, beliau menjaga sendiri cucu-cucunya. Membelikan mainan, memangku, mengajak mereka bicara, dan menyuapi mereka makan.  Mereka sering menghabiskan setidaknya tiga perempat waktu mereka bersama Mbah Uti. Bu Giryani benar-benar sosok Mbah Uti yang menyenangkan, nenekku tidak pernah sedekat itu denganku.

Mungkin kehangatan ini menjadi alasan dibalik rasa kerasan yang terus-terusan muncul dalam hati kami, selama beberapa hari menjadi anaknya. Rumah joglo itu, meski sederhana benar-benar meninggalkan kesan "rumah" yang sebenarnya. Bahkan kami rela berada seminggu lagi di bawah naungannya. Aku seolah pulang ke kampung halamanku di Kebumen, dan kembali menghabiskan hari-hariku bersama keluarga.

Kemungkinan lain, yang juga tak kalah penting, adalah letak joglo yang menyatu dengan alam. Kukira semakin dekat manusia dengan alam, semakin banyak kedamaian yang mereka rasakan. Bagaimanapun, manusia berasal dari alam dan juga bagian darinya.

Secara keseluruhan live in ini seru dan menciptakan kenangan indah. Banyak nilai kehidupan kupetik dan kubawa pulang. Namun kukira live in akan terasa lebih mendalam seandainya siswa melakukan riset dan mendapatkan edukasi seputar kesenian lokal, tradisi, kepercayaan, kebiasaan, sejarah, cara hidup, dan organisasi penduduk lokal. Dengan demikian siswa dapat semakin menyatu dengan kehidupan warga.

Dari segala sesuatu yang kualami selama lima hari, aku belajar untuk menjadi tanggap dan peka. Hidup bukan hanya untuk aku dan duniaku, tapi juga tentang aku dan orang di sekitarku. 

Aku belajar bagaimana memurnikan motif dan tujuanku dalam melakukan segala sesuatu. Usai banyak berbincang dengan Bu Giryani, aku menyadari telah menempatkan diriku sebagai peliput, yang haus akan informasi demi kebutuhan batin yang mencintai antropologi. Sampai-sampai lupa dengan niat dan motif tulus yang seharusnya dijiwai, bahwa kehadiran kami di sini adalah untuk menemani Bu Giryani. Posisiku seharusnya menjadi pendengar dan bukan seorang wartawan egois. 

Hal lainnya yang tak kalah menarik, adalah Matthew, balita berusia 3 yang kupandang 8 tahun umurnya. Melalui Matthew, aku melihat secara langsung kemandirian dan kecepatan tumbuh kembang anak desa. Di saat menemui masalah alih-alih menangis dan mengadu kepada Ibunya, mereka justru menemukan solusi bagi persoalan mereka sendiri. Mereka mengerti akan posisi mereka sebagai kakak, dan menjalani perannya dengan sangat baik. Rupanya kehidupan pedesaan yang penuh perjuangan benar-benar mencetak kedewasaan dalam diri seorang anak.

Lima hari penuh makna...Terima kasih Tuhan, terima kasih Bu Giyarni, terima kasih Yosef!





Popular Posts