Ekspedisi Lereng Merapi - Petualangan Hari ke-3

NAPAK TILAS PENDUDUK MATARAM KUNO

“Besok kita ke Candi A…. Di sana ada banyak a…. Hati-hati dikejar a….”
Candaan ini populer sehari sebelum kami pergi ke Candi Asu. Candi Asu? Benar, namanya memang Candi Asu. Candi peninggalan kerajaan Mataram Kuno itu letaknya tidak jauh dari Dusun Sumber lho….. Candi Hindu tersebut dinamakan Asu, karena pada saat candi itu ditemukan terdapat banyak anjing di sana. Tapi ada juga yang mengatakan, yang menyebabkan munculnya sebutan itu dikarenakan di dalam Candi Asu ditemukan gambar pahatan yang menyerupai anjing. Entah mana yang benar, tapi yang jelas Candi Asu adalah peninggalan sejarah yang luar biasa.  

Sebenarnya tidak hanya ada satu candi di Sumber. Ada beberapa candi lagi. Salah satunya Candi Pendem. Candi Hindu ini juga peninggalan kerajaan Mataram Kuno. Candi yang satu ini sempat terkubur oleh abu Merapi selama ratusan tahun. Sementara waktu berdirinya adalah pada abad ke-10 Masehi. Wow, tua sekali ya.

Pada hari Minggu, kami pergi ke kedua candi tersebut. Karena kurang tertib, kami berangkat satu jam lebih lambat dari jadwal seharusnya. Kami diberi teguran keras oleh kakak-kakak Jaladwara, atas ketidakdisiplinan kami yang mengganggu berjalanannya acara. Kami semua memang bersalah. 

Pukul tujuh kami mulai menuju ke Candi Asu. Sepanjang perjalanan di kanan dan kiri terbentang sawah-sawah milik penduduk. Perjalanan yang ceria itu berakhir ketika kami melihat sebuah candi berukuran kecil dengan relief-relief kunonya. Semua anak penasaran ingin masuk, sayang candi itu dipagari dan pagarnya digembok. Mengetahui bahwa kami tidak bisa masuk, kami melewatkan candi yang ternyata adalah Candi Asu tersebut dan beralih ke Candi Pendem.


Let's go!

Kami berjalan menerebos ke suatu daerah yang rimbun, teruuus berjalan hingga tiba di Candi Pendem. Candi Pendem berukuran kecil, dan terlihat belum sepenuhnya selesai disusun ulang. Selama di sana kami melakukan sebuah permainan mencocokan foto relief dengan relief asli yang terpampang di candi. Wkwkwk, butuh ketelitian ekstra! Dua buah relief sudah ditemukan di Candi Pendem, sisanya harus kami cari di Candi Asu.


Mencocokkan foto dengan relief yang sesungguhnya

Kami pun kembali ke Candi Asu, sayang sekali kami masih saja belum diperbolehkan masuk dan melihat-lihat. Karena tidak bisa masuk, aku dan teman-teman mencoba mengintip dari sela-sela pagar sambil mencocokkan foto dengan relief yang sebenarnya. Kami punya trick dong….. 

Ternyata kami masih punya kegiatan walaupun tidak jadi melihat-lihat candi. Kami mendengarkan cerita Kak Mel mengenai isu-isu lingkungan. Terutama mengenai air bersih yang makin sulit didapat. Juga ditambah cerita Mas Tanto, mengenai masalah yang dialami warga di dusunnya. Yaitu, keruhnya Sungai Senowo yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan pasir yang dilakukan di sekitarnya.


Aku tengah asyik mendengarkan cerita Rayda


DOLANAN ING KALI SENOWO

Ngomong-ngomong, kami sempat mampir ke Sungai Senowo juga lho. Dan kami mendapati airnya memang kecoklatan. Walau begitu, tetap saja main di sana itu asyik. Kami bermain susun batu beramai-ramai. Ada yang main lempar batu. Sebagian anak lebih suka mondar-mandir saja, menyusuri sungai, sambil mencari batu yang tidak licin untuk dipijak. Aku termasuk tipe yang ini juga, senang dengan hal-hal yang dianggap kebanyakan orang sepele.


Ber...Berhasil!


FESTIVAL LIMA GUNUNG

Kami kemudian pergi ke Festival Lima Gunung setelah puas bermain-main dengan air. Waduh, padahal sebagian dari kami sedang dalam kondisi belepotan lumpur sungai! Semakin dekat, semakin jelas terdengar suara-suara dari kejauhan. Ternyata, di Festival Lima Gunung (Menoreh, Merapi, Merbabu, Sindoro dan, Sumbing) memang disajikan band-band dan tari-tarian. Kesenian ini biasanya merupakan kesenian modern yang dicampur dengan kesenian nusantara. Misalnya band yang manggung di sana memainkan lagu-lagu bergaya jaman sekarang, tapi beberapa alat musiknya merupakan alat musik gamelan. Keren abis! Rayda salah satu anak yang beruntung mendapatkan kaset lagu yang dikeluarkan band itu! Ah, aku jadi menyesal kemarin malu maju… 


Selamat Raydaaa!



Festival Lima Gunung sudah diadakan selama delapan belas kali. Kata Ibu Nuryani, orang tua asuhku, festival ini digelar di tempat yang berbeda-beda. Di Merapi festival ini baru pernah dua kali diadakan. Menurutku ini festival terkeren yang pernah ada, karena festival ini dilangsungkan dengan gotong royong warga. Semua secara sukarela bekerja mewujudkan keinginan bersama mengadakan Festival tersebut, termasuk para musisi-musisi dan juga penari-penari yang tampil.

Memang penduduk di Sumber punya sifat suka menolong satu sama lain. Contohnya, jika ada orang yang meninggal, maka para tetangganya bersama-sama datang untuk menguburnya. Lalu, kalau ada  yang sedang hendak membangun rumah, pasti tetangga-tetangganya siap membantu tanpa dibayar. Tanah serasa milik bersama di sana. Oh ya, itu belum seberapa lho. Bapak RW punya cerita menakjubkan yang akan aku sampaikan di sini. Beliau bercerita, beliau pernah terkena gangguan pernapasan sewaktu erupsi Merapi. Mengetahui itu, para tetangganya bersama-sama mengantarnya ke rumah sakit Panti Rapih. Bukankah itu patut diacungi jempol? Luar biasa ya penduduk Dusun Sumber. Sikap mereka patut dicontoh oleh kita semua.

Sepulang dari Festial Lima Gunung, kami semua dihadapi kenyataan menyedihkan, yaitu harus mencuci baju! Nggg, kami memang belepotan lumpur.


BERBURU NARASUMBER SELAYAKNYA HARTA KARUN

Sekembalinya dari Dusun Sumber….Ada tugas menanti kami. Rupanya misi yang sesungguhnya telah dimulai! Sudah waktunya untuk mencari bahan bagi presentasi kami. Setiap kelompok pun mulai berpencar berkeliling desa mencari narasumber sebanyak-banyaknya. Aku dan kelompokku menemui berbagai narasumber di Dusun Sumber. 

Pada awalnya rasanya mudah sekali. Dari satu narasumber saja, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kami mengenai air sudah bisa dikatakan kami dapatkan secara lengkap. Sayangnya, kami mulai mengalami kesulitan ketika sudah menemukan banyak narasumber. Karena ternyata setiap warga Dusun Sumber mempunyai jawaban dan versi yang berbeda-beda mengenai air. Bahkan boleh dibilang tidak ada informasi yang sama. Waduh, puyeng! Sudah begitu , kami juga punya masalah lain. Lama-kelamaan, pertanyaan yang kami tanyakan itu-itu saja. Memang selama ini, itulah kesulitan yang dialami oleh kelompokku. Tapi walaupun begitu, aku melihat perubahan yang baik dari kelompokku. Semakin hari semakin kompak dan berani. Wah asyik nih kalau begini.

Kami terus melakukan wawancara, hingga malam hari pun masih mencari narasumber. Tidak hanya mengunjungi penduduk Dusun Sumber, kami juga pergi ke rumah pengurus mata air (Bapak Mujamil) yang letaknya tidak jauh dari sanggar.


Salah satu narasumber pertama kami

Kami kembali berkumpul di sanggar selepas wawancara. Bersama-sama melakukan refleksi malam dan membuat logbook. Besok kemana ya? Penasaran? Baca ceritaku selanjutnya!


Popular Posts